Selasa, 24 Maret 2009

KEPEMIMPINAN POLITIK NABI AGUNG SAYYIDINA MUHAMMAD SAW

. Selasa, 24 Maret 2009
0 komentar






إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
(النساء ٥٩)


Pengakuan Alloh swt
Muhammad adalah nama Nabi Agung yang telah menyelamatkan dan menyempurnakan agama-agama yang pernah disampaikan para Nabi sebelumnya dalam satu Agama yang dikemas dengan nama Islam, untuk dijadikan satu-satunya agama yang diterima dan diridhoi Alloh swt. Muhammad artinya orang yang dipuji. Nama ini benar-benar telah menjadi nyata dan terukir dalam sejarah. Dan Alloh swt mengakui dan mengumumkan kepada dunia dengan firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki Akhlaq yang agung (Al-Qalam, 68:5)

Tujuan Alloh swt mengutus beliau saw kepada umat manusia semuanya agar mereka menjadikan beliau sebagai teladan dan ikutan dalam segala aspek kehidupan, termasuk kepemimpinan politik beliau sehingga mereka mendapatkan berkahnya dan menjadi Muhammad-muhammad kecil yang bertebaran dimuka bumi ini, Alloh swt berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rosululloh suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Alloh dan Hari Akhir serta yang banyak mengingat Alloh (Al-Akhzab, 33:22)

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah, jika kamu mencintai Alloh, maka ikutilah aku, kemudian Alloh pun akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Alloh Maha-Pengampun, Maha- Penyayang (Ali Imran, 3:32)

Karunia apakah yang akan manusia peroleh dari Alloh swt berkat meneladani dan mengikuti Rosululloh saw? Berdasarkan janji Alloh swt dan pengalaman para wali, sholihin dan sholihat yang terukir dalam sejarah Islam adalah Alloh swt akan menjadi matanya yang dengan-Nya ia melihat; Alloh swt akan menjadi telinganya yang dengan-Nya ia mendengar; Alloh swt akan menjadi tangannya yang dengan-Nya ia memegang; Alloh swt akan menjadi kakinya yang dengan-Nya ia berjalan; Alloh swt akan menjadi hatinya yang dengan-Nya ia berfikir; Alloh swt menjadi lidahnya yang dengan-Nya ia berbicara; jika ia memanggil Alloh swt, Dia menjawabnya; jika ia meminta kepada Alloh swt Dia memberinya, sebagaimana dinyatakan dalam Hadits Kudsi berikut ini:

وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ عَيْنَهُ الَّتِي يُبْصِرُ بِهَا وَأُذُنَهُ الَّتِي يَسْمَعُ بِهَا وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَفُؤَادَهُ الَّذِي يَعْقِلُ بِهِ وَلِسَانَهُ الَّذِي يَتَكَلَّمُ بِهِ إِنْ دَعَانِي أَجَبْتُهُ وَإِنْ سَأَلْتَنِي أَعْطَيْتُهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْئٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ وَفَاتِهِ وَذَالِكَ ِلأَنَّهُ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَائَتَهُ
Seorang hamba-Ku yang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ibadah nafal sehingga Aku mencintainya, apabila Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan; Aku akan menjadi hatinya yang dengannya ia berfikir; Aku menjadi lidahnya yang dengannya ia berbicara; jika ia memanggil-Ku Aku menjawabnya; jika ia meminta kepada-Ku Aku memberinya; Aku tiada ragu melakukan sesuatu selain mencabut nyawanya; karena yang demikian itu karena ia benci kepada kematian itu dan Aku membenci keburukannya (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, Al-Hakim dalam Al-Mustadrok, Abu Ya’la dalam Musnadnya, Ath-Thobroni dalam Ash-Shoghir, Abu Nu’aim dalam Ath-Thib, Al-Bukhori, Muslim dalam Az-Zuhd, Ibnu Asakir dari Aisyah rodhiyallohu ‘anha dan Kanzul-Ummal, Juz I/1157)

Oleh karena itu, kedatangan Nabi Agung Muhammad Rosululloh saw sangat ditunggu-tunggu para pengikut Agama-agama terdahulu, karena berita kedatangan beliau itu telah dikabar-gaibkan para Nabi yang diutus sebelum beliau, sebagaimana firman Alloh swt berikut:

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَه مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ
Orang-orang yang mengikuti Rosul, Nabi Ummi yang mereka dapati tertulis dalam Taurot dan Injil (Al-A‘raf, 7:158)

Kesaksian Manusia
Keindahan dan kemuliaan Akhlaq serta kepemimpinan politik Muhammad Rosululloh saw tidak hanya disaksikan Alloh swt Yang Maha-Tahu dan Maha-Melihat saja, tetapi setiap orang yang pernah melihat dan bergaul dengan beliau pasti mengakui dan terpikat oleh beliau, sampai-sampai orang-orang yang dengki menyebarkan fitnah bahwa beliau itu seorang gila dan tukang sihir, karena mereka menyaksikan mu‘jizat beliau yang sangat hebat sehingga mereka khawatir kehilangan pengikut jika semua orang mencintai dan mengikuti jejak beliau. Di antara orang yang paling dekat yang telah banyak menyaksikan dan merasakan Akhlaq beliau adalah Sayyidah Aisyah ra, istri beliau sendiri yang dalam salah satu sabdanya menyatakan:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
Akhlaqnya adalah Al-Quran (Thobaqot Ibnu Sa’ad, Juz I, Bagian 2, hal. 89)


Kedamaian Politis
Menurut Hadhrot Mirza Thohir Ahmad ra, kedamaian politis adalah hal yang penting ditelaah, baik di tingkat nasional mau pun internasional. Sejauh menyangkut politik nasional, yang menjadi masalah pokok adalah sistem politik mana yang baik bagi manusia. Kita juga perlu menelaah apakah kegagalan sistem politik dan cacat ikutannya yang menjadi penyebab kesengsaraan dan kemarahan rakyat, ataukah ada sebab lainnya. Apakah sistemnya yang harus disalahkan atau mereka yang mengendalikannya? Apakah mungkin kepemimpinan politis tak bermoral, egoist, rakus dan korup yang mencapai jenjang kekuasaan melalui cara-cara demokratis itu memang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dibanding sistem kediktatoran lunak? Agar dapat menegakkan dan menjamin kedamaian internasional, Islam dapat memberikan tuntunan bagi para politisi kontemporer. Islam sangat menekankan moralitas mutlak di semua aspek kegiatan manusia, tidak terkecuali di bidang politik.


Jangan Langsung Mencerca Sistem Politik Mana Pun
Kita awali dengan hasil observasi bahwa dalam Islam tidak ada ditentukan suatu sistem politik sebagai sistem yang paling baik dibanding yang lainnya. Memang benar bahwa Al-Quran mengemukakan sistem demokratis dimana para pemimpin dipilih oleh rakyat, namun ini tidak merupakan satu-satunya sistem yang direkomendasikan Islam. Juga tidak menjadi prerogatif dari suatu agama universal untuk memilih suatu bentuk sistem pemerintahan tanpa memperhatikan bahwa sulit menetapkan satu sistem tunggal yang dapat berlaku bagi semua daerah dan masyarakat di dunia. Demokrasi sendiri di negara yang paling maju pun belum mencapai tingkat penerapan sebagaimana visi politis para demokrat. Dengan bangkitnya kapitalisme dan pengembangan teknologi yang demikian maju di negeri-negeri kapitalis, pemilihan umum yang benar-benar demokratis belum dapat dilakukan di mana-mana. Tambahkan ke dalamnya masalah maraknya korupsi, munculnya kelompok Mafia dan kelompok penekan lainnya. Kita dapat menyimpulkan bahwa sistem demokrasi tidak berjalan aman bahkan di negeri yang katanya paling demokratis. Lalu bagaimana mungkin sistem ini cocok bagi Dunia Ketiga, seperti di Indonesia? Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa demokrasi Barat dapat berlaku di Afrika, Asia dan Amerika Latin atau negeri-negeri yang katanya negara Islam, sama saja dengan membuat pernyataan hampa dan tidak benar. Sepengetahuan beliau, ajaran Islam tidak pernah menolak suatu sistem politik apa pun di dunia dan Islam menyerahkannya kepada pilihan umat serta tradisi yang secara historis berlaku di tiap negeri. Yang ditekankan Islam bukanlah bentuk pemerintahannya, tetapi bagaimana pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya. Sepanjang suatu sistem peraturan sejalan dengan idealisme Islam dalam pelaksanaan amanat kepada rakyat, berbagai sistem pemerintahan seperti feodalisme, monarki, demokrasi dan lain-lain dapat saja diakomodasikan dalam Islam.


Sistem Kerajaan
Sistem kerajaan atau monarki disebut beberapa kali dalam Al-Quran tanpa menyalahkannya sebagai suatu lembaga. Seorang nabi Israil mengingatkan kaum Tholut:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Berkata nabi mereka kepada mereka: ‘Sesungguhnya Alloh telah mengangkat Tholut menjadi raja bagimu.’ Berkata mereka:‘Bagaimana ia akan berdaulat atas kami padahal kami lebih berhak berdaulat daripadanya dan ia tidak diberi berlimpah-limpah harta?’ Berkata ia: ‘ Sesungguhnya Alloh telah memilihmya berdaulat atasmu dan melebihkannya dengan keluasan ilmu dan kekuatan badan.’ Dan Alloh memberikan kedaulatan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Alloh Mahaluas pemberian-Nya, Maha Mengetahui. (Al-Baqoroh, 2: 248)


Monarki juga diungkit dalam pengertian lebih luas sebagai mereka yang jadi raja-raja:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ

Ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya: ‘Hai kaumku, ingatlah nikmat Alloh atasmu ketika Dia menjadikan nabi-nabi diantaramu dan menjadikan kamu raja-raja dan Dia memberikan kepadamu apa yang tidak diberikan kepada kaum lain di antara bangsa-bangsa.’ ( Al-Maidah, 5: 21)

Kerajaan yang diciptakan atau diperluas melalui penaklukan secara umum tidak disukai sebagaimana dikemukakan dalam ayat tentang Ratu Sheba ketika mengingatkan para penasihatnya:

قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً وَكَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Berkatalah ia, ratu itu: ‘Sesungguhnya raja-raja apabila mereka memasuki suatu negeri, mereka merusaknya dan penduduknya yang termulia mereka jadikan orang-orang paling hina. Dan demikianlah selalu mereka kerjakan.’ (An-Naml, 27: 35)

Raja-raja dapat bertabiat baik atau pun buruk, sama saja seperti perdana menteri atau presiden yang dipilih secara demokratis. Tetapi Al-Quran menyitir suatu kategori raja-raja yang memang ditunjuk oleh Alloh. Mereka adalah jenis bukan saja sebagai raja seperti dalam pemahaman Yahudi dan Kristen tetapi juga sebagai Rosul menurut Al-Quran sebagai contohnya Raja Sulaiman as. Hal ini menggambarkan bahwa kadang-kadang fungsi kenabian dan kerajaan dapat diemban oleh satu orang dan ia adalah raja yang ditunjuk langsung oleh Alloh. Dalam Al-Quran juga ada disebut bentuk kerajaan lain yang mendapat mandatnya dari seorang Rosul. Ayat berikut ini menggambarkan kenyataan tersebut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul-Nya dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Alloh dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (An-Nisa, 4: 60)

Beliau mengemukakan ayat ini tidak saja untuk menggambarkan kategori bentuk kerajaan tetapi juga guna menekankan bahwa menurut Al-Quran kadang-kadang sistem demokrasi tidak selalu menjadi pilihan paling benar. Dalam sistem demokrasi dapat saja terjadi mayoritas rakyat tidak dapat menemukan nilai-nilai pokok dari kepemimpinan seorang dan akan memprotes jika yang bersangkutan dipaksakan dipilih sebagai pemimpin mereka. Berdasarkan semua kriteria politis, penunjukannya akan dianggap sebagai diktatorial. Mungkin untuk kepentingan publik yang bersangkutan memang baik tetapi opini umum tidak dapat menerimanya. Kelemahan inheren dari pemilihan secara demokratis adalah kenyataan bahwa rakyat melakukan pilihannya berdasarkan kesan-kesan impresi permukaan dan kinerja terakhir dari si calon, sedangkan nilai-nilai kepemimpinan sehat yang seharusnya ada malah sulit diketahui. Kita dapat melihat bahwa dalam sejarah umat yang dicintai Alloh, ada saat-saat dimana keselamatan politis mereka membutuhkan bantuan intervensi samawi. Pada saat demikian, Alloh sendiri yang menentukan pemilihan raja atau pemimpin. Dari sini jangan disimpulkan bahwa semua raja dan pemimpin umat adalah pilihan Alloh. Kesalah-fahaman seperti inilah yang umum terjadi dalam sistem pemerintahan abad menengah umat Kristen dan pandangan seperti ini tidak dianut Al-Quran. Contohnya ketika Raja Richard mengeluh:

Bahkan semua air laut yang menggelora pun tidak dapat mencuci minyak urap dari seorang raja yang diurapi. (Shakespeare)


Definisi Demokrasi
Konsep demokrasi meskipun berasal dari Yunani, sebenarnya didasarkan pada pidato presiden Abraham Lincoln di Gettysburg yang menyatakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Kata-kata itu merupakan klise yang amat menarik tetapi jarang diterapkan sepenuhnya di Negara mana pun di muka bumi ini. Bagian ketiga yaitu untuk rakyat definisinya sangat kabur dan dapat membahayakan. Apa yang dapat dideklarasikan secara pasti sebagai untuk rakyat? Dalam suatu sistem yang menganut pola mayoritas seringkali terjadi bahwa apa yang dianggap untuk rakyat sebenarnya adalah untuk mayoritas rakyat dan tidak berlaku bagi sisa minoritasnya. Dalam sistem demokrasi dapat juga terjadi keputusan-keputusan yang sangat penting ditentukan oleh mayoritas absolut. Namun kalau ditelaah dan dianalisis lebih lanjut data dan faktanya, ternyata sebenarnya yang diputuskan itu berasal dari kelompok minoritas yang dilambungkan secara demokratis dan diterapkan pada mayoritas. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah bahwa partai yang berkuasa memperoleh kekuasaannya setelah dalam proses pemilihan umum kemudian menggandeng kelompok minoritas di berbagai faksi, karena memang tidak selalu partai yang berkuasa itu mendapat dukungan mayoritas saat pemilihan umum. Kalau pun kemudian partai tersebut berhasil berkuasa, masih banyak hak yang dapat terjadi selama masa pemerintahannya. Opini publik dapat saja berubah drastis sehingga pemerintahan yang ada tidak lagi mewakili mayoritas. Proses gradual perubahan minat selalu terjadi dalam setiap perubahan pemerintah. Kalau pun pemerintah bersangkutan tetap populer di mata pemilihnya, dapat saja terjadi bahwa ketika mengambil suatu keputusan penting, sebagian besar anggota partai yang berkuasa dalam hati sebenarnya tidak setuju dengan mayoritas, tetapi karena loyalitas partai mereka harus patuh. Jika perbedaan pandang itu berkaitan dengan kelebihan kekuatan partai yang berkuasa dibanding partai oposan, maka lebih sering terjadi bahwa keputusan yang katanya mayoritas itu sebenarnya merupakan keputusan minoritas yang diterapkan pada rakyat keseluruhan. Kita juga menyadari bahwa konsep mengenai apa yang baik untuk rakyat nyatanya berubah dari masa ke masa. Jika keputusan tidak berdasarkan prinsip absolut maka apa yang dianggap baik untuk rakyat akan selalu mengalami pergeseran kebijakan dengan berjalannya waktu. Apa yang dianggap baik hari ini mungkin dianggap buruk keesokan harinya dan baik lagi untuk lusanya. Bagi orang awam keadaan ini menimbulkan situasi gamang. Eksperimen sistem komunisme dalam skala raksasa selama lebih dari setengah abad juga sebenarnya didasarkan pada slogan untuk rakyat. Adapun pemerintahan sosialis tidak semuanya bersifat diktatorial. Berkaitan dengan pemerintahan oleh rakyat disini perlu dicatat bahwa garis yang membedakan antara negara sosialis dan negara demokratis nyatanya amat tipis dan terkadang tidak ada. Bagaimana orang dapat menuduh bahwa pemerintahan yang dipilih di negeri-negeri sosialis memperoleh kekuasaannya tidak oleh rakyat? Memang benar dalam negara totaliter dimungkinkan mendiktekan calon pilihan kepada dewan pemilih. Nyatanya hal yang sama dan bahkan taktik-taktik canggih lainnya dilakukan, kecuali di beberapa negara tertentu di Barat, di negara-negara dengan sistem pemerintahan demokratis. Adalah suatu kenyataan bahwa demokrasi di sebagian besar dunia tidak sepenuhnya dilaksanakan dan jarang pemilihan umum oleh rakyat. Melalui cara-cara patgulipat pemilihan, dagang sapi, teror polisional dan cara korup lainnya, semangat dan isi demokrasi di dunia ini sudah tercemar sehingga pada akhirnya tersisa sedikit saja yang dapat disebut masih murni demokratis.


Definisi Demokrasi Menurut Islam
Menurut Al-Quran, umat manusia bebas memilih sistem pemerintahan yang paling cocok untuk mereka. Demokrasi, kerajaan, sistem kesukuan atau feodalisme dapat saja diterima sepanjang diterima oleh rakyat sebagai warisan tradisi masyarakat mereka masing-masing. Hanya saja yang disukai dan paling direkomendasikan oleh Al-Quran adalah demokrasi. Umat Muslim dianjurkan memiliki sistem demokrasi meskipun tidak sepenuhnya sama dengan pola demokrasi Barat. Islam tidak memberikan definisi hampa mengenai demokrasi. Agama ini hanya mengatur tentang prinsip-prinsip penting saja dan sisanya diserahkan kepada umat. Ikutilah demokrasi ini, insya Alloh kalian akan menerima manfaat, tetapi jika kalian meninggalkannya, kalian akan dihancurkan.


Dua Pilar Dalam Konsep Demokrasi Menurut Islam
Hanya ada dua pilar bagi konsep demokrasi menurut Islam, yaitu:
(1). Pemilihan umum secara demokratis harus didasarkan pada azas amanah dan kejujuran. Islam mengajarkan bahwa ketika kita memberikan suara dalam pemilihan umum, lakukanlah hal itu dengan kesadaran bahwa Alloh mengawasi kita dan kita harus mempertanggung-jawabkan keputusan yang diambil. Pilihlah mereka yang paling mampu mengemban amanat nasional dan mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Implisit dalam ajaran ini ketentuan bahwa mereka yang memiliki hak pilih harus melaksanakan haknya itu, kecuali memang ada kondisi di luar kendali yang menjadikannya berhalangan.

(2). Pemerintah harus berfungsi atas dasar prinsip keadilan mutlak. Pilar kedua dari demokrasi menurut Islam ini mengatur bahwa apa pun keputusan yang diambil, lakukan dengan berlandaskan pada prinsip keadilan mutlak. Baik berkaitan dengan masalah politis, agama, sosial atau pun ekonomis, keadilan tidak boleh dikompromikan. Setelah terbentuknya pemerintahan, pemungutan suara di dalam partai pun harus selalu berorientasi pada keadilan. Dengan kata lain, tidak boleh mempengaruhi proses pengambilan keputusan karena kepentingan kelompok atau pertimbangan politis. Dalam jangka panjang, semua keputusan yang dilakukan dalam semangat ini akan benar-benar dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.


Perlunya Permusyawaratan Bersama
Substansi demokrasi secara tegas dibahas dalam Al-Quran dan sepanjang berkaitan dengan tuntunan bagi umat Muslim, walaupun sistem kerajaan tidak juga ditolak, sistem demokrasilah yang lebih disukai dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya. Menguraikan bagaimana seharusnya masyarakat Islam, Al-Quran menyatakan:

فَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنْتَصِرُونَ
Apa jua pun yang telah diberikan kepadamu hanyalah perbekalan sementara untuk kehidupan ini, tetapi apa yang ada di sisi Alloh adalah lebih baik dan lebih kekal bagi mereka yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhan mereka. Dan mereka yang menjauhi dosa-dosa lebih besar dan kekejian-kekejian, dan apabila mereka marah, mereka memberi ampun. Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka dan mendirikan sholat, dan yang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka dan mereka yang membelanjakan apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka. Dan mereka yang apabila suatu keaniayaan telah dilakukan terhadap mereka, membela diri. (Asy-Syura, 42: 37 - 40)

Kata-kata Arab AMRUHUM SYUURA BAINAHUM (urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka) berkaitan dengan kehidupan politis masyarakat Muslim, jelas mengindikasikan bahwa dalam masalah pemerintahan, keputusan-keputusan harus diambil secara musyawarah. Hal ini mengingatkan pada bagian pertama dari definisi tentang demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat. Keinginan bersama dari rakyat menjadi peraturan legislatif melalui musyawarah. Bagian kedua dari definisi demokrasi menyangkut oleh rakyat. Hal ini dijelaskan dalam ayat:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Alloh memerintahkan kepada kamu supaya menyerahkan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya . . . (An-Nisa, 4:59)

Berarti bahwa kapan saja kita menyatakan keinginan untuk memilih penguasa di atas kita, selalu tempatkan kepercayaan pada orang yang tepat. Hak rakyat untuk memilih penguasanya disinggung juga, tetapi secara insidentil. Tekanan utamanya adalah pada bagaimana seseorang melaksanakan haknya itu. Umat Muslim diingatkan bahwa bukan hanya masalah melaksanakan hak mereka dengan cara bagaimana, yang harus diperhatikan adalah amanat nasional. Dalam masalah pengembanan amanat (nasional), seseorang tidak mempunyai banyak pilihan. Kita harus melaksanakan amanat itu dengan kejujuran, integritas dan semangat tidak mementingkan diri sendiri. Amanat harus berada pada mereka yang berhak. Banyak ilmuwan Muslim mengutip ayat di atas sebagai penyokong sistem dan teori demokrasi seperti yang dipahami dalam falsafah politik Barat, sedangkan sebenarnya hal itu baru sebagian benar. Sistem musyawarah sebagaimana dikemukakan Al-Quran tidak memberikan tempat bagi partai-partai politik dari demokrasi Barat kontemporer. Tidak juga memberikan kesempatan kepada gaya dan semangat perdebatan politik dalam parlemen dan majelis perwakilan yang dipilih secara demokratis. Perlu dicatat bahwa berkaitan dengan bagian kedua dari definisi demokrasi, menurut konsep permusyawaratan ini, hak memilih adalah mutlak milik pemilih tanpa boleh ada persyaratan yang mencampuri hak tersebut. Berdasarkan norma-norma demokrasi yang sekarang berjalan, si pemilih boleh saja memberikan suaranya kepada sebuah boneka atau meremas atau membuang kertas tanda pilihnya ke kotak sampah dan bukan ke kotak suara. Yang bersangkutan tidak dapat ditegur atau disalahkan sebagai telah merusak suatu prinsip demokrasi. Adapun menurut definisi Al-Quran, seorang pemilih bukanlah penguasa mutlak hak suaranya melainkan sebagai pengemban amanat. Sebagai pengemban ia harus melaksanakan amanatnya secara adil dan tegas dimana dan kepada siapa yang berhak. Ia harus selalu awas dan menyadari bahwa ia akan mempertanggung-jawabkan tindakannya itu kepada Tuhannya. Dalam pandangan konsep Islam demikian, kalau suatu partai politik telah menominasikan seorang calon sedangkan seorang anggota partai itu menganggap calon bersangkutan akan gagal mengemban amanat nasional, maka anggota tersebut sebaiknya keluar dari partainya daripada memberikan suaranya kepada seseorang yang tidak seharusnya diberi kepercayaan. Kesetiaan kepada partai tidak boleh mempengaruhi pilihannya itu. Jadi sebagai pengulangan, amanat harus dilaksanakan dengan itikad baik. Karena itu semua pemilih harus berpartisipasi penuh melaksanakan hak pilihnya di dalam suatu pemilihan umum, kecuali ia memang berhalangan. Kalau tidak, maka yang bersangkutan dianggap gagal mengemban amanatnya sendiri. Dalam konsep demokrasi menurut Islam tidak ada tempat untuk absenteeisme atau menahan diri tidak memilih (golput?) sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dimana hampir separuh pemilih tidak menggunakan hak pilihnya.


Pemerintahan Islam
Penelitian beliau tegas memberikan gambaran bahwa Al-Quran telah mengatur mengenai pemerintahan tanpa membedakan apakah itu negara Muslim atau bukan. Petunjuk-petunjuk bagaimana menjalankan pemerintahan dikenal umum di antara manusia, namun Al-Quran khususnya mengarahkan petunjuknya kepada para penganut Islam. Petunjuk Al-Quran mengenai pemerintahan sama-sama dapat diterapkan oleh agama mana saja seperti Hindu. Sikh, Budha, Konghucu, Kristen, Yahudi, Islam dan lain-lain. Inti ajarannya termaktub dalam ayat-ayat yang dikutip di muka dan pada ayat berikut:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Tidak, demi Tuhan engkau, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau sebagai hakim dalam segala apa yang menjadi perselisihan di antara mereka kemudian mereka tidak mendapati suatu keberatan dalam hati mereka tentang apa yang telah engkau putuskan serta mereka menerima dengan sepenuh penerimaan. (An-Nisa, 4: 66)

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang menjadi penegak keadilan dan jadilah saksi karena Alloh walaupun perkara itu bertentangan dengan dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabat. Baik ia yang terhadapnya kesaksian diberikan itu kaya atau miskin, maka Alloh lebih memperhatikan kedua mereka itu daripada kamu. Karena itu janganlah menuruti hawa nafsu agar kamu dapat berlaku adil. Dan jika kamu menyembunyikan kebenaran atau mengelakkan diri, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh itu Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan. (An-Nisa, 4: 136)

Sunnah Rosululloh s.a.w. mengenai ini sangat jelas. Beliau mengingatkan cara memperlakukan bawahan bagi semua penguasa dan mereka yang memegang otoritas di atas orang lain, karena mereka akan mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya kepada Alloh s.w.t. Hal ini telah dijelaskan juga di muka. Pokok telaah ini menunjukkan bahwa Islam menganjurkan pemerintahan sentral yang bersifat netral dimana semua permasalahan pemerintahan bersifat umum dan dapat diterapkan pada semua penduduk negeri dan dimana perbedaan agama tidak dimungkinkan berperan disini. Agama Islam selalu mengingatkan umat Muslim untuk mematuhi hukum dalam semua permasalahan duniawi:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada Rosul-Nya, dan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan di antaramu. Dan jika kamu berselisih mengenai sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Alloh dan Rosul-Nya, jika kamu memang beriman kepada Alloh dan Hari Kemudian. Hal demikian itu paling baik dan paling bagus akibatnya. (An-Nisa, 4: 60)

Hanya saja sepanjang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan-nya, maka area itu eksklusif masuk urusan agama dan negara tidak punya hak mencampurinya. Pikiran dan hati manusia harus merdeka sepenuhnya dalam hal urusan yang berkaitan dengan keimanan dan cara peribadatan. Adalah bagian dari hak azasi manusia untuk mempercayai apa pun yang dipilihnya dan menyembah Alloh atau pun berhala sebagaimana suruhan agama atau keyakinannya. Menurut Islam, dengan demikian agama pun tidak seharusnya mencampuri area yang eksklusif bagi negara, sebagaimana negara tidak berhak mencampuri bidang-bidang yang bersinggungan di antara keduanya. Hak dan tanggung-jawab sudah jelas didefinisikan dalam Islam sehingga permasalahan pertentangan antara keduanya tidak ada lagi. Banyak ayat yang sudah dikutipkan mengenai hal ini dalam bagian kedamaian agama. Sayangnya sekarang ini ada tendensi di antara banyak negara sekuler yang kadang-kadang memperluas bidang sekulernya keluar dari batas alaminya. Hal yang sama juga terjadi pada negara-negara theokratis atau negara yang dipengaruhi oleh hirarki keagamaan. Walaupun kita tidak dapat bersimpati dengan negara seperti itu, tetapi sekurangnya kita dapat memahami pandangan miring dari negara-negara yang diperintah oleh para agamawan fanatik. Namun kalau kita melihat sikap tidak dewasa demikian pada negara-negara sekuler yang katanya sudah maju dengan penduduk yang memiliki pandangan luas, rasanya susah diterima akal. Tetapi bukan hanya hal ini saja yang susah dimengerti mengenai perilaku politik manusia. Sepanjang kepentingan nasional menjadi dasar dan mengilhami filosofi politik suatu negara maka tidak akan ada yang disebut sebagai moralitas absolut. Sepanjang sikap politik dipengaruhi oleh prasangka nasional, maka kejujuran dan keadilan akan dikesampingkan bila dianggap akan bentrok dengan kepentingan nasional. Kalau ini yang disebut sebagai loyalitas terhadap Negara, maka perilaku politik dan manusianya akan tetap kontroversial, diragukan dan bahkan paradoksal. Al-Quran mengulas mengenai tanggung-jawab pemerintah dan rakyat. Beberapa hal tentang hal itu telah diulas di muka tentang penyediaan pangan, sandang dan papan serta kebutuhan dasar penduduk dan juga prinsip-prinsip bantuan internasional. Tanggung-jawab ini berjalan bersama keadilan mutlak dan kepekaan terhadap permasalahan rakyat sehingga mereka tidak harus mengangkat suara menuntut hak-hak mereka. Dalam sistem pemerintahan Islam yang benar, adalah tanggung-jawab pemerintah untuk selalu siaga sehingga rakyat tidak perlu melakukan pemogokan, mengacau industri, demonstrasi, sabotase atau mengeluh untuk memperoleh apa yang memang sudah menjadi hak mereka. Disamping itu terdapat beberapa tanggung-jawab lainnya seperti dikemukakan Al-Quran:

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
Jika engkau khawatir terhadap pengkhianatan dari suatu kaum, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang setara. Sesungguhnya Alloh tidak mencintai orang-orang yang khianat. (Al-Anfal, 8: 59)

Mereka yang diberi kewenangan memerintah tidak seharusnya melaksanakan tugasnya dengan cara menggalakkan kekacauan, chaos, penderitaan dan luka di hati. Mereka seharusnya bertugas dengan rajin dan efektif guna terciptanya kedamaian di semua aspek kehidupan masyarakat.


PUJIAN PENDIRI AHMADIYAH
KEPADA NABI AGUNG MUHAMMAD SAW

يَارَبِّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّكَ دَائِمًا فِى هاذِهِ الدُّنْيَا وَبَعْثٍ ثَانِ
وَقَدِ اقْتَفَاكَ أُولُو النُّهَى وَبِصِدْقِهِمْ وَدَعُوا تَذَكُّرَ مَعْهَدِ اْلأَوْطَانِ
قَدْ آثَرُوكَ وَفَارَقُوا أَحْبَابَهُمْ وَتَبَاعَدُوا مِنْ حَلْقَةِ اْلإِخْوَانِ
قَدْ وَدَّعُوا أَهْوَاءَهُمْ وَنُفُوسَهُمْ وَتَبَرَّءُوا مِنْ كُلِّ نَشْبٍ فَانِ
ظَهَرَتْ عَلَيْهِمْ بَيِّنَاتُ رَسُولِهِمْ فَتَمَزَّقَ اْلأَهْوَاءُ كَاْلأَوْثَانِ
فِى وَقْتِ تَرْوِيقِ اللَّيَالِي نُوِّرُوا وَاللهُ نَجَّاهُمْ مِّنَ الطُّوفَانِ
قَدْ هَاضَهُمْ ظُلْمُ اْلأُنَاسِ وَضَيْمُهُمْ فَتَثَبَّتُوا بِعِنَايَةِ الْمَنَّانِ
نَهَبَ الْمِيَامُ نُشُوبَهُمْ وَعِقَارَهُمْ فَتَهَلَّلُوا بِجَوَاهِرِ الْفُرْقَانِ
كَسَحُوا بُيُوتَ نُفُوسِهِمْ وَتَبَادَرُوا لِتَمَتُّعِ اْلإِيقَانِ وَاْلإِيمَانِ
قَامُوا بِإِقْدَامِ الرَّسُولِ بِغَزْوِهِمْ كَاْلعَاشِقِ الْمَشْغُوفِ فِى الْمَيْدَانِ
فَدَمُ الرِّجَالِ لِصِدْقِهِمْ فِى حُبِّهِمْ تَحْتَ السُّيُوفِ أُرِيقَ كَاْلقُرْبَانِ
جَاءُوكَ مَنْهُوبِينَ كَاْلعُرْيَانِ فَسَتَرْتَهُمْ بِمَلاَحِفِ اْلإِيمَانِ
صَادَفْتَهُمْ قَوْمًا كَرَوْثٍ ذِلَّةً فَجَعَلْتَهُمْ كَسَبِيكَةِ الْعِقْيَانِ
حَتَّى انْثَنَى بَرٌّ كَمِثْلِ حَدِيقَةٍ عَذْبِ الْمَوَارِدِ مُثْمِرِ اْلأَغْصَانِ

Wahai Tuhanku, limpahkanlah selalu rahmat Engkau kepada Nabi-Mu; di dunia ini dan di hari bangkit nanti.

Kaum cerdik-pandai telah menjadi pengikutmu dengan hati yang sungguh-sungguh; Dan tidak ingat lagi tanah-airnya dahulu

Mereka telah memilih kau memisahkan diri dari orang-orang yang dikasihinya; Dan menjauhkan diri dari lingkungan saudara-saudaranya

Membuang segala keinginan rendah dan nafsunya; dan melepaskan tangan dari harta-benda yang fana

Keterangan Rasul-Nya sudah jelas sejelas-jelasya bagi mereka; Hawa nafsu menyembah berhala sudah hancur-luluh sama-sekali

Di malam hari yang gelap gulita itulah mereka disinari Tuhan; Dan Allahlah yang telah menyelamatkan mereka dari bahaya taufan

Orang-orang menghantam mereka dengan penyiksaan dan penganiayaan; Dengan pertolongan Tuhan mereka tetap tabah

Kaum biadab merampas harta mereka; Dengan berpegang teguh pada Al-Furqan wajah mereka tetap berseri-seri

Mereka telah menyapu bersih rumah dirinya, lalu segera mengecap hasil dari keyakinan dan keimanan yang telah diperolehnya

Dalam peperangan, mereka tatap mengikuti jejak Rasul. Seperti laskar yang asyik tergila-gila dalam kecamuk peperangan

Karena setia dan cintanya kepada Nabi; Di bawah pedang terhunus, darah mereka mengalir seperti mengalirnya darah binatang korban

Harta benda mereka habis dirampas, datang kepada engkau laksana orang telanjang; Dan kau telah menyelimuti mereka dengan selimut iman

Kau dapati mereka satu kaum yang hina seperti sampah; Dan kau telah jadikan mereka seperti sebingkai mas murni.

Dahulu daratan, sekarang berubah menjadi kebun; dimana mengalir sungai yang airnya manis dan sarat dengan buah-buahan


-----oo0oo-----



Klik disini untuk melanjutkan »»

PENDIRI AHMADIYAH MIMPI SEBAGAI ALLOH

.
0 komentar




رَأَيْتُنِي فِى الْمَنَامِ عَيْنَ اللهِ
(Ra’aitunii fil-manaami ‘ainAlloh)
Artinya: Aku melihat diriku sebagai Alloh dalam mimpi (Ainah Kamalati Islam, hal. 564, dan Kitabul-Bariyah, hal. 79)

Sebagian Ulama keberatan mempercayai kebenaran wahyu tersebut, bahkan menuduh beliau membuat-buat yang diatasnamakan dari Alloh SWT.

Jawaban Ahmadiyah:
a. Perlu dingat bahwa pemandangan ini dilihat dalam mimpi dan menganggap mimpi sebagai suatu peristiwa lahiriyah adalah kezhaliman, contoh mimpi Nabi Yusuf ‘alaihis salam.
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَاأَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Ingatlah, ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: Wahai ayahku, sesungguhnya aku telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan aku lihat mereka itu sujud kepadaku (Yusuf, 12:5)1

Jika ada Ulama menyatakan: “Sesuatu yang dilarang diwaktu jaga, dalam mimpipun seorang Nabi tidak boleh melakukan itu”, untuk menjawab pernyataan tersebut perlu memperhatikan berikut ini:

i. Dalam Hadits riwayat Muslim tertulis bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
رَأَيْتُ فِى يَدَيَّ سَوَارَيْنِ مِنْ ذَهَبٍ
Artinya: Aku melihat pada dua tanganku dua buah gelang emas.

ii. Dalam Hadits riwayat Al-Bukhari, kitabur Ru’yah, babun-nafhi fil-manam, jilid IV, hal. 134, dan Jilid II, hal. 49, Cetakan Ilahiyah, Mesir tertulis:
ِإنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَ أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ فِى يَدَيَّ سَوَارَيْنِ مِنْ ذَهَبٍ
Sesungguhnya Rosululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Di waktu tidur aku melihat dua gelang emas pada dua tanganku.

Memakai emas bagi seorang laki-laki diharamkan dalam keadaan jaga, apakah dalam mimpi juga diharamkan? Lalu bagaimana dengan mimpi Nabi kita Muhammad SAW tersebut?.

iii. Berkenaan dengan Hadhrot Imam Abu Hanifah rahmatullah ‘alaihi, Hadhrot Syekh Fariduddin Ath-Thar rahmatullah ‘alaihi berkata:

• Pada suatu malam Imam Abu Hanifah rahmatullah ‘alaihi melihat dalam mimpi bahwa beliau sedang mengumpulkan tulang-belulang Hadhrot Rosululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dari dalam liang lahat. Sebagian tulang-tulang itu beliau senangi dan sebagian lagi beliau buang. Dikarenakan dahsyatnya mimpi itu beliau terbangun dan menceriterakan mimpinya itu kepada salah seorang teman Ibnu Sirin rahmatullah ‘alaihi. Beliau menjawab bahwa mimpi itu sangat beberkah, yaitu tuan akan memiliki ilmu Rosululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dan menjaga sunnah beliau sedemikian rupa, sehingga tuan dapat memisahkan antara yang sahih dan yang tidak sahih. (Tadzkiratul Auliya, bab XVIII, hal. 145-146, diterbitkan oleh Syeh Barkat Ali And Suns, cetakan Ilmi Pers Lahore dan Zhahirul-Asfiya, Terjemahan Urdu Tadzkiratul-Auliya, hal 182, diterbitkan Haji Ceraaghdiin Siraj diin, cetakan Jalal Printing Pers Lahore).

• Berkenaan dengan ini pula seorang alim bernama Daata Ganj Bakhsys menulis: ‘Maka pada suatu malam Imam Abu Hanifah rahmatullah ‘alaihi melihat dalam mimpi bahwa beliau sedang mengupulkan tulang-belulang beberkah Hadhrot Rosululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam dari liang lahat dan sebagiannya beliau ambil. Karena dahsyatnya mimpi itu, beliau terjaga dari tidurnya. Beliau menanyakan ta’birnya kepada salah seorang sahabat Muhammad Ibnu Sirin rahmatullah ‘alaihi, maka beliau menjawab: ‘engkau akan mencapai derajat yang sangat agung di dalam memelihara ilmu dan sunnah Yang Mulia Rosululloh shallAllohu ‘alaihi wa sallam. Sehingga engkau akan mendapatkan kemampuan sedemikian rupa untuk membedakan yang sahih dan yang salah’ (Kasyful-Mahjub, Terjemahan Urdu, diterbitkan oleh Syeh Ilahi Baskhsy Muhammmad Jalaluddin, Taajraane Kutub, Kasymiri Bazar Lahore tahun 1322 H, hal. 106)

Membongkar kuburan Nabi Muhammad SAW adalah perbuatan yang diharamkan dalam Islam, apalagi membuang sebagian tulang-tulang beliau. Namun kalau peristiwa itu terjadi dalam mimpi, apakah juga berarti Imam Abu Hanifah rahmatullah ‘alaihi berdosa?

b. Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah ‘alaihis salam menulis tentang ta’bir mimpi itu: ‘Kenapa kalian mengabaikan ta’bir itu?’.
وَلاَ نَعْنِي بِهذِهِ الْوَاقِعَةِ كَمَا يُعْنَى فِى كُتُبِ أَصْحَابِ وَحْدَةِ الْوُجُودِ وَمَا نَعْنِي بِذَلِكَ مَا هُوَ مَذْهَبُ الْحُلُولِيِّينَ بَلْ هذِهِ الْوَاقِعَةُ تُوَافِقُ حَدِيثَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْنِي بِذَلِكَ حَدِيثِ الْبُخَارِيِّ فِى بَيَانِ مَرْتَبَةِ قُرْبِ النَّوَافِلِ لِعِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ
Artinya: Kami tidak memaknakan peristiwa ini sebagaimana yang dimaknakan dalam kitab-kitab para pengikut Wihdatul-Wujud (yakni aku sendiri adalah Tuhan), dan kami tidak memaknakan hal itu seperti pendapat para Hululiyin (Tuhan menitis dalam diriku), bahkan peristiwa ini sesuai dengan Hadis Nabi kita Muhammad shallAllohu ‘alaihi wa sallam, yaitu Hadits riwayat Imam Al-Bukhari tentang penjelasan martabat hamba-hamba Alloh yang shaleh yang berusaha mendekatkan diri kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dengan melakukan ibadah nafal.

Maksud Hadits tersebut adalah seorang hamba-Ku yang berusaha mendekatkan diri kepada-Ku dengan mengerjakan ibadah nafal, maka Aku akan mencintainya, apabila Aku telah mencintainya maka Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat, Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang, Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan (Al-Bukhari, kitabur-riqaq, babut-Tawadhih, jilid IV, hal. 80, cetakan Mathbu’ Ilahiyah Mesir)

c. Juga terdapat di dalam Ta’tirul-Anam fi Ta’biril-Manam, hal. 9, karya Allamah Sayid Abdul Ghani An-Nablusi, cetakan Mesir; Kitab ini adalah yang terbaik dalam ta’bir mimpi:

مَنْ رَأَى فِى الْمَنَامِ كَأَنَّهُ صَارَ الْحَقَّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى اِهْتَدَى إِلَى صِرَاطِ الْمُسْتَقِيمِ
Artinya: Seorang yang melihat dalam mimpi bahwa ia seolah-olah menjadi Tuhan, maka artinya ialah Alloh Subhanahu wa ta’ala akan segera menyampaikannya ke tujuan petunjuk.(kutipan ini terdapat pada kitab Ta’birul-Anam, cetakan Mathba’ Ijazi, Kairo, hal. 90).

Pendek kata mimpi Pendiri Jamaah Islam Ahmadiyah yang telah melihat dirinya sebagai Alloh dalam mimpi tersebut mengisyaratkan bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala berkenan membimbingnya di jalan yang benar. Hal ini akan dapat dimengerti jika kita membaca buku-buku beliau yang mengungkap kemajuan, kebaikan dan keindahan agama Islam yang pernah diajarkan dan dicontohkan nabi kita Muhammad shallAllohu ‘alaihi wa sallam.

---------------------------------------------------------
Catatan:
1. Penulisan nomor ayat Al-Quran dalam makalah ini berdasarkan Hadits Nabi Agung Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam riwayat sahabat Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhu yang menunjukkan bahwa basmalah pada setiap awal surat adalah ayat pertama surat itu.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَعْرِفُ فَصْلَ السُّوْرَةِ حَتَّى يَنْزِلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحمْـاـنِ الرَّحِيْمِ
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui pemisahan surat itu sehingga bismillaahir-rochmaanir-rochiim turun kepadanya.” (HR Abu Daud, “Kitab Sholat”; dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrok”)

Klik disini untuk melanjutkan »»

Nama Ghulam Ahmad Sempurna sedang Nama Alloh tidak

.
0 komentar



ييَتِمُّ اسْمُكَ وَلاَ يَتِمُّ اسْمِي
(Yatimmu ismuka walaa yatimmu ismiy)

Artinya: Namamu sempurna dan nama-Ku tidak sempurna.

Sebagian Ulama keberatan mengakui pernyataan tersebut sebagai wahyu dari Alloh swt, karena pernyataan itu bukan saja mustahil bagi-Nya, bahkan pernyataan itu merupakan penghinaan terhadap-Nya, karena menganggap Hadhrot Mirza Ghulam Ahmad as lebih hebat daripada Penciptanya.

Jawaban Ahmadiyah:
a. Keberatan Ulama tersebut disebabkan karena kurangnya ilmu atau sengaja memprovokasi umat dengan menebarkan fitnah agar mereka menaruh kebencian dan penyerangan kepada Pendiri Ahmadiyah dan Jamaahnya, karena berkenaan dengan wahyu tersebut, sebenarnya Hadhrot Masih Mau‘ud ‘alaihis salam sendiri telah menjelaskan sebagai berikut:

يَا أَحْمَدُ يَتِمُّ اسْمُكَ وَلاَ يَتِمُّ اسْمِي أَيْ أَنْتَ فَانٍ يَنْقَطِعُ تَحْمِيدُكَ وَلاَ يَنْتَهِي مَحَامِدُ اللهِ فَإِنَّهَا لاَ تُعَدُّ وَلاَ تُحْصَى
Artinya: Wahai Ahmad namamu akan tamat, berakhir dan nama-Ku tidak akan tamat, tetap abadi, yakni engkau akan binasa, kesempurnaan dan pujianmu akan habis, sedangkan pujian-pujian kepada Alloh Tuhanmu tidak terbatas dan tetap abadi., karena pujian-pujian itu tidak terbatas dan tidak dapat dihitung.(Barohin Ahmadiyah, jilid IV, hal. 242, catatan kaki dibawah catatan kaki)

b. Di dalam buku Khutbah Ilhamiyah hal. 10 Hadhrot Masih Mau‘ud ‘alaihis salam menulis demikian:
إِذَا أَنَارَ النَّاسُ بِنُورِ رَبِّهِ أَوْ بَلَغَ اْلأَمْرُ بِقَدَرِ الْكِفَايَةِ فَحِيْنَئِذٍ يَتِمُّ اسْمُهُ وَيَدْعُوهُ رَبُّهُ وَيُرْفَعُ رُوحُهُ إِلَى نُقْطَتِهِ النَّفْسِيَّةِ
Artinya: Ketika manusia telah disinari dengan cahaya Tuhannya atau urusan pertablighan telah menjadi sempurna dengan ukuran yang cukup, maka ketika itu namanya menjadi sempurna dan Tuhannya memanggilnya serta ruhnya diangkat ke sisi-Nya.

Maksudnya, ketika manusia dikenakan pakaian-pakaian khilafat secara sempurna dan setelah hamba ini tinggal di bumi sampai waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kemauan Tuhan supaya manusia disinari cahaya petunjuk, dan ketika manusia telah disinari cahaya Tuhannya atau urusan pertablighan telah menjadi sempurna, maka ketika itu namanya menjadi sempurna dan Tuhan memanggilnya serta ruhnya diangkat ke sisi-Nya. Jadi, maksud wahyu tersebut adalah engkau akan diwafatkan, sedangkan Aku (Tuhan), tidak akan pernah wafat, bahkan akan tetap abadi.



Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Taman Islam is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com